Rabu, 11 Mei 2011

OTC drugs "abuse"? Bisakah?

Obat-obat OTC atau Over The Counter drugs bagi mayoritas masyarakat awam adalah solusi cerdas dan hemat bagi masalah kesehatannya atau bagi masyarakat yang ingin “irit duit” dibanding periksa ke dokter. Belum lagi dengan kekuatan “propaganda” iklan yang begitu kuat di media massa, obat-obat OTC seakan menguasai pangsa pasar obat-obatan di masyarakat. Nah, pertanyaannya, sudahkah kita sebagai farmasis membimbing pasien untuk menggunakan obat OTC secara bijak?

Berikut ini beberapa langkah yang ringan dan simpel sebagai acuan saran kepada pasien agar tidak terjadi penyalahgunaan OTC:

1. Pilih produk dengan bahan aktif dan eksipien serta bentuk sediaan yang paling simpel. Secara umum, bahan aktif tunggal sebaiknya dipilih, meskipun tidak salah juga jika memilih bahan aktif kombinasi. Akan tetapi perlu diingat, terdapat sediaan obat kombinasi yang beberapa bahan aktifnya mencapai dosis terapi, dan ada pula yang hanya mencapai dosis subterapetik. Belum lagi jika terdapat perbedaan duration of action.

2. Pilih produk dengan bahan aktif dalam dosis efektif.

3. Baca label produk dengan teliti, untuk menentukan mana komposisi senyawa aktif yang paling sesuai dengan gejala penyakit ataupun obat yang sedang dikonsumsi pasien.

4. Rekomendasikan obat generik (bila tersedia)

5. Berhati-hati dan kritis dengan sugesti iklan yang mengatakan produk obat tertentu lebih superior dibanding yang lain.

6. Untuk pasien anak, utamakan assesment terhadap dosis, bentuk sediaan dan acceptability.

Beberapa bahan tambahan dalam obat OTC harus dihindari atau dibatasi penggunaannya pada pasien-pasien tertentu, karna justru dapat memperparah kondisi penyakitnya. Banyak bahan-bahan tambahan tersebut yang “tersembunyi” akibat kurang teliti membaca label informasi obat. Beberapa contohnya yaitu, banyak sediaan obat batuk, pilek, dan demam yang mengandung simpatomimetic agent, padahal harus dihindari pada pasien dengan Diabetes Melitus tipe 1, serta pasien dengan hipertensi, angina atau hipertiroid. Aspirin sebaiknya dihindari pada anak-anak maupun dewasa dengan viral infection (dengan atau tanpa demam) karna beresiko tinggi mengalami Reye’s syndrome. Aspirin dan NSAID lainnya harus dihindari pada pasien dengan peptik ulcer aktif, platelet dissorder atau sedang dalam terapi antikoagulan.

Penggunaan OTC yang berlebihan (overuse) atau salah penggunaan (misuse) juga akan memperparah penyakit pasien. Sebagai contoh, penggunaan antidekongestan nasal spray selama lebih dari 3 hari akan menyebabkan rebound congestion. Penggunaan antasida (ex: aluminium hidroksida) jangka panjang dengan dosis tinggi dapat menyebabkan konstipasi dan hipofosfatemia pada pasien geriatri. Laxative abuse dapat menyebabkan kram abdominal serta gangguan cairan dan elektrolit. Insomnia, gelisah dan sulit tidur dapat terjadi akibat overdosis dari kafein dan simpatomimetic agent yang banyak tersebar di obat-obat OTC. Longterm use dari sediaan analgesik dengan kafein dosis besar dapat menyebabkan rebound headache, serta interstitial nephritis. Penggunaan antihistamin akan menyebabkan drowsiness atau sedasi bila digunakan bersama obat-obatan sedatif hipnotik, antitusif dosis tinggi maupun obat-obat CNS depresan lainnya.

Dan masih banyaaaak lagi hal-hal yang perlu diperhatikan. Banyaknya informasi-informasi yang tidak sepenuhnya terungkap ini menuntut farmasis di komunitas (yang paling utama) agar lebih jeli menganalisis serta mengassesment terapi obat pasien dari kelompok OTC. So, it’s not as simple as we though.. Semangat!! ^_^


Pustaka : Basic and Clinical Pharmacology, 10th Ed, 2007, " Therapeutic and Toxic Potential of Over-the-Counter Agents"